Denyut nadinya kian melemah dan akhirnya tak terdeteksi. Sabtu, 30 Juli 2011, tepat pukul 11.14, wartawan Kompas Djoko Poernomo meninggal dunia dalam usia 58 tahun. Ia meninggal di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Bintaro Premiere dengan didampingi istrinya, Harri Kinasih Sri, serta kedua putranya, Harri Prasojo dan Harri Prakoso. Kakaknya, Julius Pourwanto dan Djoko Poerwoko, juga berada di dekatnya. Sabtu sore, Djoko Poernomo dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Mas Pom - demikian panggilan akrabnya - enam bulan terakhir ini harus melakukan cuci darah karena ada masalah dengan ginjalnya. Dan, hari Jumat, 29 Juli 2011, ternyata menjadi proses cuci darahnya yang terakhir.
Sesungguhnya, menjalani cuci darah sudah rutin dilakukannya. Itu sebabnya, Jumat lalu, ketika diterima kabar lewat telepon bahwa kondisi Mas Pom kritis, kabar itu menjadi kabar yang sangat mengejutkan. Apalagi ketika sampai di rumah sakit, didapatkan kabar bahwa dokter sudah lepas tangan, tidak ada lagi upaya penyelamatan yang dapat dilakukan.
Mas Pom telah tiada. Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto dalam sambutannya di rumah duka, menyebutkan, "Mas Pom adalah sosok yang bekerja dengan total. Pekerja keras. Meski tubuhnya besar, ia tak pernah marah dan selalu saja tersenyum,"
Rabu, 27 Juli 2011, sebelum cuci darahnya yang terakhir Jumat itu, Mas Pom masih menyerahkan karya jurnalistik terakhirnya. Karya itu dimuat di rubrik Kilasan Peristiwa, Kompas, Minggu, 31 Juli 2011, di halaman 26 yang diberinya judul "Liang Lahat untuk Hadiah".
Tak mudah jadi pemimpin
Mas Pom, semasa menjadi Kepala Biro Kompas di Yogyakarta, beberapa kali mengatakan tidak mudah menjadi pemimpin. "Ora gampang lho Pak jadi pemimpin kui. Kita, kan, sering mengkritik para pemimpin partai politik, para pemimpin birokrasi, tapi njajalo koe dadi pemimpin, angel tenan lho Pak kui," katanya suatu hari.
Ia juga seorang yang kami kenal sebagai pribadi yang reflektif, dengan caranya yang sederhana, yaitu mengingatkan teman-temannya bahwa tidak baik menjelek-jelekkan pribadi kawan sendiri atau membicarakan kesalahan orang lain dengan cara berlebihan. Suatu hari dia berkata begini, "Ora apik yo Pak ngrasani wong liyo kui," Mas Pom, sebagai pemimpin di lingkungannya, jarang sekali menegur atau mempermasalahkan anak buahnya secara telak.
Ia selalu menjajaki persoalan yang diajukannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyerempet inti persoalan, tetapi tidak pernah secara eksplisit menunjuk atau menyerang kesalahan orang lain. Kita yang tahu kebiasaannya akhirnya paham, barangkali inilah cara berkomunikasi simbolik pria kelahiran Delanggu, Jawa Tengah, itu.
Tertawanya yang renyah
Saat rekan-rekan mendengar Mas Pom telah tiada, spontan yang paling diingat dari Mas Pom adalah tertawanya yang renyah dan lepas.
Mas Pom tidak hobi berceramah dalam acara formal untuk mengajari yuniornya. Ia melepaskan ilmu dan ajarannya dengan tutur bahasa guyonan, egalitarian, dan tidak menggurui.
Di antara ajarannya yang sangat terkesan adalah jurnalistik santun. Sebagai orang Jawa tulen, ia mengemas dalam kalimat," Wartawan kuwi pinter ora minteri, landhep ora natoni (wartawan itu pintar tidak merasa paling pintar, tajam tetapi tidak melukai)."
Hal itu diwujudkan dengan cara bertanya kepada narasumber secara santun dan menulis laporan dengan pilihan bahasa yang santun. Dengan demikian sekalipun fakta kebenaran yang diungkap itu bisa sangat menyakitkan, tetapi jika disajikan dengan bijaksana, santun, tanpa menghakimi, fakta itu akan bisa diterima dengan legawa (ikhlas).
Kesantunan diterapkannya bukan hanya dalam pekerjaan sebagai wartawan, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu menyelipi senyuman di dalam percakapan. Tertawanya meledak apa adanya tanpa dibuat-buat. Dan kesantunan itu ditambah dengan cara hidupnya yang sederhana.
Mas Pom, yang oleh teman-teman karibnya juga dipanggil Plompong, adalah seorang wartawan yang bekerja keras. Bisa jadi karena sistem zaman dulu, koresponden digaji menurut kontribusi beritanya. Makan atau tidak makan tergantung bagaimana bekerja. Sampai ada pemeo, siapa lamban berarti mati. Ia hampir selalu berada di peringkat pertama dalam kontribusi berita pada dekade 1980-1990-an.
"Zaman sudah berubah. Kita tidak bisa menuntut wartawan sekarang seperti zaman kita koresponden dulu. Yo uwis, awake dhewe narimo ing pandum wae (ya sudah, kita menerima pemberian Tuhan ini). Arep nyangopo maneh (mau apa lagi). Ayo sing sabar," katanya dalam suatu percakapan.
Mas Pom sudah mulih mring mulo mulaniro (pulang ke asal-muasalnya) lebih dulu. Sugeng kundur (selamat jalan), Kanjeng Sinuwun. (BDM/HRD/ANO)